Wednesday, December 31, 2008

Muhammad Rosullulah


Muhammad Rosullulah


Muhammad digambarkan sebagai seorang berperawakan sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Rambutnya hitam berombak dengan cambang lebar. Matanya hitam, roman mukanya seperti selalu merenung. Ia gemar pula berhumor, namun tak pernah sampai tertawa terbahak yang membuat gerahamnya tampak. Ia juga tak pernah meledak marah. Kemarahannya hanya terlihat pada raut muka yang serius serta keringat kecilnya di dahi. Muhammad inilah yang dipertimbangkan Khadijah sebagai suaminya.


Saat itu Khadijah binti Khuwailid berusia 40 tahun -15 tahun lebih tua dibanding Muhammad. Ia pengusaha ternama di Mekah. Bisnisnya menjangkau wilayah Syria -daerah yang menjadi persimpangan antara “Jalur Sutera” Cina-Eropa dengan jalur Syria-Yaman. Ia cantik, lembut namun sangat disegani masyarakatnya. Orang-orang Mekah menjulukinya sebagai “Ath-Thahirah” (seorang suci) dan “Sayyidatul Quraish” (putri terhormat Quraish).” Khadijah dan Muhammad sama-sama keturunan Qushay.


Khadijah lalu menyampaikan keinginan menikah tersebut pada Muhammad, melalui Nufaisa -sahabatnya. Muhammad sempat gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah. Paman Khadijah, Umar bin Asad menjadi wali lantaran Khuwailid telah meninggal sebelum Perang Fijar. Muhammad kemudian tinggal di rumah Khadijah.


Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak. Dua anak pertama, Qasim dan Abdullah meninggal selagi kecil. Empat putri mereka tumbuh hingga dewasa. Zainab yang sulung dinikahkan dengan keponakan Khadijah, Abul’Ash bin Rabi’. Ruqaya dan Ummi Khulthum dinikahkan dengan kakak-adik putra Abu Lahab, paman Muhammad, yakni Uthba’ dan Uthaiba.


Setelah ajaran Islam turun, Abu Lahab meminta anak-anaknya menceraikan anak-anak Muhammad. Kelak mereka menikah dengan Khalifah Usman bin Affan, mula-mula Ruqaya yang kemudian wafat, lalu Ummi Khulthum. Si bungsu Fatimah masih kecil. Setelah masa Islam, Fatimah dinikahkan dengan Ali.


Perhatian pasangan Muhammad-Khadijah bukan hanya memikirkan keluarganya sendiri, melainkan juga orang lain. Setiap musim paceklik tiba, Halimah -Ibu susu Muhammad-selalu datang minta bantuan. Mereka akan membekali pulang Halimah dengan air serta bahan pangan yang diangkut unta untuk memenuhi kebutuhan warga desanya. Mereka juga menolong Abu Thalib dari kemiskinannya. Untuk itu, Muhammad menemui pamannya yang kaya Abbas untuk mengambil salah seorang anak Abu Thalib, Ja’far, sedangkan keluarga Muhammad mengasuh anak yang lain, Ali.


Muhammad mendapat penghormatan besar saat renovasi Ka’bah. Saat itu Ka’bah telah retak. Lokasinya di cekungan perbukitan batu, membuat Ka’bah selalu menjadi sasaran banjir di musim hujan. Masyarakat bermaksud membangun baru Ka’bah, namun tak seorang pun berani memulai merobohkannya. Setelah tertunda beberapa lama, Walid bin Mughirah memberanikan diri untuk memulai penghancuran itu. Ka’bah dibangun kembali hingga setinggi 18 hasta atau sekitar 11 meter. Pintunya ditinggikan dari tanah sehingga aman dari banjir. Enam tiang berderet tiga-tiga dipancangkan.


Untuk pembangunan itu, warga Mekah membeli kayu milik pedagang Romawi Baqum yang kapalnya pecah di dekat Jeddah. Baqum bahkan bersedia membantu pembangunan itu bila didampingi Kopti -tukang kayu Mekah. Pekerjaan berjalan lancar. Hubal, arca terbesar, telah dimasukkan ke dalam Ka’bah. Namun, kemudian muncul persoalan, yakni untuk menempatkan Hajar Aswad. Semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga Abdud-Dar dan ‘Adi bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu.


Orang tertua dan dihormati di antara mereka, Abu Ummayah bin Mughira dari Bani Makhzum, mengajukan usul. Urusan penempatan Hajar Aswad agar diserahkan pada orang pertama yang masuk ke pintu Shafa. Siapapun dia. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.
Secara bijaksana, Muhammad melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: ia membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Muhammad mengangkat batu itu ke atas kain, lalu semua secara bersama-sama mengotong batu tersebut, kemudian Muhammad kembali mengangkat dan meletakkannya pada tempat semestinya. Semua puas.

Kesesatan Film2 Asing bagi anak anak Muslim


Kesesatan Film2 Asing bagi anak anak Muslim


Anak-anak ibarat “kertas putih” yang dapat dituliskan apa saja pada dirinya. Pada masa anak-anak, apa saja yang dilihat dan didengar dapat membekas di dalam sanubarinya yang masih polos, jika telah terukir di dalam hatinya, akan tergambar dan tersalurkan jika kelak mereka menjadi dewasa.


Tidak dipungkiri lagi, banyak beredar kisah-kisah menarik yang dikemas sedemikian rupa agar disukai anak-anak; kebanyakannya termasuk kisah-kisah fiktif yang dibumbui dengan cerita-cerita kebohongan, syirik, kebobrokan akhlaq, dan gambar bernyawa.
Walhasil, kita dapat melihat betapa banyak anak-anak muslim yang lebih mengenal tokoh-tokoh fiktif hasil produksi orang-orang kafir daripada mengenal tokoh-tokoh muslim, seperti para sahabat, dan ulama’ Salaf; betapa banyak anak-anak muslim yang menghafal cerita-cerita khurafat dibandingkan kisah-kisah penuh ibroh (pelajaran) yang telah diceritakan dan diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-


Ketika anak-anak bergerombol di depan televisi tak ada satu orang tua pun yang bergeming dan prihatin sikap anak-anaknya. Padahal apabila kita perhatikan, maka nasib anak-anak kita berada dalam kondisi memprihatinkan. Bagaimana tidak, sementara film-film kartun tersebut mengajarkan kepada mereka pelanggaran-pelanggaran syariat Allah dan Rasul-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-


Tulisan yang ada di depan Anda ini akan membongkar kesesatan, dan penyimpangan beberapa film kartun yang paling populer di tengah-tengah masyarakat yang menyesatkan dan meninabobokkan cikal bakal umat ini.


* Doraemon si Boneka Ajaib
Konon kabarnya, Doraemon bisa pergi menjelajah di masa lalu dan di masa yang akan datang. Katanya, ia dapat mengadakan sesuatu yang belum ada menjadi ada dengan “kantong ajaibnya”. Dalam kartun, ia digambarkan sebagai tempat untuk dimintai segala sesuatu yang ghaib oleh temannya. Lihatlah bagaiman film kartun tersebut betul-betul menyimpang dari aqidah.
Segala sesuatu telah ditetapkan waktu dan ajalnya oleh Allah -Ta’ala-. Makhluk tak mampu mengatur waktu, baik itu memajukannya atau mengundurkannya. Makhluk tak akan mampu menyebrang dari zaman kekinian menuju zaman lampau atau sebaliknya.


Allah -Ta’ala- berfirman,
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”. (QS. Al-A’raaf: 34)


Kartun Doraemon telah mengajarkan aqidah (keyakinan) batil dalam benak anak-anak kita tentang adanya makhluk yang memiliki kemampuan yang menyamai Allah -Ta’ala- ; makhluk ini mampu mengadakan segala sesuatu yang belum ada menjadi ada. Padahal telah paten dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa tak ada makhluk yang mampu melakukan segala sesuatu yang ia kehendaki, karena itu semua ada dalam kekuasaan Allah; itu hanyalah sifat yang dimiliki Allah.



Dia berfirman,
“Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Baqoroh:253)
” Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki”. (QS.Huud :107)
Tak terasa si Doraemon pun mengajari anak kecil untuk meminta dan berdoa kepada selain Allah dalam perkara yang tak mampu dilakukan oleh seorang makhluk, hanya bisa dilakukan oleh Allah -Ta’ala- . Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di samping Allah”. (QS. Al-Jin:18 ).
Abu Abdillah Al-Qurthubiy-rahimahullah- berkata, “Firman Allah ini adalah celaan bagi orang-orang musyrikin saat mereka berdoa kepada selain Allah di samping Allah di Masjidil Haram. Mujahid berkata, “Dulu orang-orang Yahudi dan Nashrani, jika masuk ke gereja, dan kuil mereka, maka mereka mempersekutukan Allah (dalam beribadah). Maka Allah memerintahkan Nabi-Nya, dan kaum mukminin agar mereka memurnikan doanya hanya kepada Allah, jika mereka masuk ke semua masjid”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (19/21)]


* Dragon Ball
Cerita ini dalam film ini banyak mengandung unsur kebatilan, seperti adanya penyembahan dewa-dewa seperti Dewa Emperor, Dewa Bumi, Dewa Gunung, Dewa Naga, dan lain-lain. Keyakinan ini seluruhnya berasal dari agama Budha, Hindu dan Shinto yang penuh dengan kebatilan dan kesesatan, sementara Allah hanyalah meridhoi Islam sebagai agama yang benar.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imron : 19)
Mufassir ulung, Al-Imam Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata, “Firman Allah -Ta’ala- tersebut merupakan pengabaran dari-Nya bahwa tak ada agama di sisi-Nya yang Dia terima dari seorang pun selain Islam, yaitu mengikuti para Rasul dalam perkara yang mereka diutus oleh Allah dengannya dalam setiap zaman sampai mereka (para rasul itu) ditutup dengan Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang telah menutup semua jalan menuju kepada-Nya, selain dari arah Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Barangsiapa yang setelah diutusnya Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menemui Allah dengan suatu agama yang tidak berdasarkan syari’atnya, maka agama itu tak akan diterima”. [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (1/471)]
Jadi, agama apapun selain Islam, seperti agama Buddha, Hindu, Shinto, dan lainnya, semuanya tak akan diterima oleh Allah, dan pelakunya akan merugi, karena kekafiran dirinya. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imron: 85 )

Seorang Imam Ahli Tafsir, Abul Fadhl Mahmud Al-Alusiy-rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Allah -Ta’ala- menjelaskan bahwa barangsiapa yang–setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memilih selain syari’at beliau, maka agama itu tak akan diterima darinya. Sedangkan diterimanya sesuatu adalah diridhoinya, dan diberikannya balasan bagi pelakunya atas perbuatan itu”. [Lihat Ruh Al-Ma’aniy (3/215)]


Jika kita telah mengetahui kebatilan agama selain Islam, maka tak layak bagi kita dan anak-anak kita untuk berbangga, meniru, dan memuji orang-orang kafir itu, dan gaya hidup mereka, apalagi sampai memilih agama mereka sebagai pedoman hidup !! Jauhkanlah anak-anak kita dari orang-orang kafir, jangan sampai mereka bangga dengan orang-orang kafir. Bersihkanlah mulut dan telinga mereka dari istilah-istilah orang-orang kafir, dan paganisme dengan jalan membersihkan rumah kita dari benda pembawa petaka (televisi) yang berisi tayangan yang mendangkalkan, bahkan menghanguskan agama. Kita harus baro’ (berlepas diri) dari orang-orang kafir, dan sembahan-sembahan mereka,

“Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”. (QS. Al-Mumtahanah: 04).

Ayat ini mengajarkan kepada kita agar punya pendirian terhadap orang-orang kafir. Kita harus tegas dalam menampakkan keyakinan kita. Jangan malah kita yang bangga dan tertipu dengan kekafiran mereka, karena hanya sekedar kemajuan semu yang mereka capai di dunia ini. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri-negeri”. (QS.Ali Imran : 196).

Imam Para Ahli Tafsir, Abu Ja’far Ath-Thobariy-rahimahullah- berkata, “Allah -Ta’ala Dzikruh- melarang Nabi-Nya -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- agar jangan tertipu dengan bergerak (bebas)nya orang-orang kafir di negeri-negeri, dan penangguhan Allah bagi mereka, padahal mereka berbuat syirik, mengingkari nikmat-nikmat-Nya, dan beribadahnya mereka kepada selain-Nya”. [Lihat Jami’ Al-Bayan (3/557)]


Jadi, bebasnya mereka di muka bumi ini, dan majunya mereka dalam segala lini kehidupan jangan membuat kita tertipu dengan mereka, sehingga akhirnya tak lagi mengingkari kekafiran mereka, dan malah memilih sikap toleran bersama mereka dalam urusan agama (aqidah, ibadah, akhlaq, dan lainnya).


* Sincan (Simbol Anak Durhaka)
Sincan adalah anak yang sering mendurhakai kedua orang tuanya, dia suka berbohong, mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar kepada kedua orang tuanya, dan suka membuat orang tuanya marah dan jengkel. Jadi, jangan heran kalau banyak anak-anak yang meniru watak Sincan tersebut, karena telah terpengaruh oleh cerita kartun tersebut.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Isroo’: 23 ).
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebutkan diantara dosa-dosa besar,
“Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua”. Kemudian Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- duduk -sebelumnya bersandar- sambil bersabda, “Ingatlah, dan juga perkataan dusta”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2511), Muslim Shohih-nya (87), At-Tirmidziy Sunan-nya (1901), Ahmad Musnad-nya (20401)]


Abu Amr Ibnush Sholah-rahimahullah- berkata, “Mungkin bisa dikatakan, Taat kepada kedua orang tua adalah wajib dalam segala sesuatu yang bukan maksiat; menyelisihi perintah keduanya dalam hal itu adalah kedurhakaan”. [Lihat Umdah Al-Qoriy (13/216)]
Jadi, termasuk dosa besar, jika seseorang mencela, membentak, merendahkan orang tuanya. Semua ini adalah bentuk-bentuk durhaka yang terlarang di dalam agama kita yang memiliki aturan yang amat sempurna !!


Inilah beberapa kesesatan film-film kartun tersebut. Namun kesalahan dan kesesatannya, sebenarnya masih banyak. Andaikan waktu dan tempat mencukupi, maka kami akan paparkan secara rinci sesuai tinjauan Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi sesuatu yang tak bisa dikerja dominannya, ya jangan ditinggalkan semuanya. Semoga pada waktu yang lain kami akan bahas kembali, Insya Allah.


Oleh: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Tuesday, December 30, 2008

MENDIDIK ANAK DENGAN CARA ISLAMI


MENDIDIK ANAK DENGAN CARA ISLAMI
Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Berhasil mendidik anak, tentu sangat diharapkan oleh orangtua, pengajar, ataupun setiap individu yang berkompeten dalam masalah pendidikan anak. Berbagai kiat ditempuh. Di antaranya dengan memberikan penghargaan dalam keberhasilan dan hukuman dalam kesalahan yang dilakukannya. Namun, sejauh mana langkah ini akan menunjang keberhasilan, kita perlu mendapat bimbingan dari orang-orang yang berilmu. Nukilan tulisan Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah tentang permasalahan ini dari kitab beliau, Nida` ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, memberikan penjelasan dan faedah yang sangat berharga bagi kita.

Keberhasilan kita sebagai seorang pendidik tidaklah bersandar pada hukuman fisik. Bahkan hal itu dilakukan seminimal mungkin, sesuai dengan kebutuhan. Pemberian penghargaan justru lebih dikedepankan daripada pemberian hukuman, karena hal ini akan lebih memotivasi anak untuk belajar serta menyemaikan keinginan untuk mendapat tambahan pendidikan dan pengajaran.
Beda halnya dengan hukuman.

Hukuman akan meninggalkan pengaruh buruk dalam jiwa si anak, yang akhirnya justru menjadi penghalang baginya untuk memahami serta mencerna ilmu yang diberikan. Selain itu juga akan mengubur optimisme dan keberaniannya. Betapa banyak terjadi, seorang anak keluar dari sekolah karena melihat beragam kekasaran dan kezhaliman yang dilakukan oleh sebagian gurunya. Lebih dari itu, mereka biasa menyebut gurunya yang keras dan kasar dengan sebutan ‘orang zhalim’.

Karena itu, hendaknya kita dahulukan segala bentuk pemberian penghargaan sebelum memberikan hukuman, karena sebenarnya inilah asalnya.




Berbagai Bentuk Penghargaan
1. Pujian
Sewajarnya kita memuji anak bila melihatnya berperilaku baik atau bersungguh-sungguh. Kita bisa sampaikan, misalnya, “Bagus, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan berkah kepadamu!” atau “Memang Fulan ini anak yang paling baik!” ataupun ucapan-ucapan baik yang sejenis. Ucapan ini akan memotivasi anak, menguatkan jiwanya, juga memberikan pengaruh yang sangat baik dalam dirinya. Hal ini akan mendorongnya untuk mencintai orang yang mendidiknya. Terbuka pula pikirannya untuk terus belajar.

Di samping itu, dalam waktu yang sama akan memotivasi anak lain untuk mencontoh si anak yang dipuji dalam adab, perilaku, atau kesungguhannya, agar memperoleh pujian pula. Ini lebih baik daripada memberikan hukuman fisik pada mereka.

2. Penghargaan secara materi
Anak memiliki tabiat menyukai hadiah. Biasanya mereka begitu ingin mendapatkannya. Karena itu, layak kiranya jika kita berikan apa yang mereka sukai ini pada kesempatan tertentu. Anak yang rajin, berakhlak baik, melaksanakan kewajiban shalat atau perbuatan baik lainnya, kemudian mendapat hadiah, akan merasa gembira dan puas dengan apa yang didapatkannya.

3. Doa
Semestinya pula kita berikan motivasi kepada anak yang rajin, beradab atau rajin menegakkan shalat dengan mendoakannya, misalnya kita doakan:
وَفَّقَكَ اللهُ، أَرْجُو لَكَ مُسْتَقْبَلاً بَاهِرًا
“Semoga Allah memberikan taufik kepadamu, mudah-mudahan masa depanmu cerah.”
Kepada seorang anak yang biasa lalai atau berperilaku jelek, kita bisa mendoakan:
أَصْلَحَكَ اللهُ وَهَدَاكَ
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki dirimu dan memberi petunjuk kepadamu.”


4. Menuliskan namanya di papan
Jika kita seorang pendidik di sebuah sekolah, kita bisa pula memasang semacam papan pengumuman di tempat yang mudah dilihat. Di situ ditulis nama-nama anak sesuai kelebihannya, baik dalam perilaku, kesungguhan, kebersihan, dan yang lainnya. Pengumuman semacam ini akan menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk mencontoh mereka, sehingga nama mereka juga akan ditulis di papan tersebut.

5. Menunjukkan kebaikannya
Ketika anak mampu dengan baik menerangkan suatu pelajaran di depan kelas, menyampaikan hafalan, memecahkan suatu soal, atau membacakan salah satu surat Al-Qur`an, kita bisa menepuk bahunya untuk memotivasinya sambil mengatakan:
بَارَكَ اللهُ فِيْكَ
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah kepadamu!”

6. Menganggap diri kita bagian dari mereka
Bila kita ingin memberikan penghargaan pada anak-anak yang memiliki kelebihan, bisa pula dengan menyatakan bahwa kita merupakan bagian dari mereka. Ini akan menjadi penghargaan besar bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَوْ لاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ اْلأَنْصَارِ
“Seandainya bukan karena hijrah, tentu aku akan menjadi salah seorang dari kaum Anshar.” (HR. Al-Bukhari no. 7244)

7. Wejangan
Penghargaan pada seorang anak yang baik bisa pula berupa wejangan kepada anak-anak dan pendidik yang lain untuk berbuat baik pada si anak. Ini merupakan motivasi bagi anak itu sendiri maupun bagi anak-anak yang lain, sehingga mereka pun akan mencontoh kesungguhan dan akhlaknya.
8. Wejangan pada keluarga si anak
Kita bisa pula menulis surat untuk keluarga anak yang ingin kita berikan penghargaan, berisi kebaikan-kebaikan si anak dan pujian untuknya. Ini akan mendorong keluarganya untuk memperlakukan si anak dengan baik, serta mendorong si anak untuk terus berperilaku terpuji. Semestinya pula kita menanyakan, bagaimana akhlak dan perilaku anak-anak di rumahnya, dan penjagaan mereka terhadap shalat lima waktu. Bagi anak laki-laki, tentunya bisa dengan membuat lembaran yang diisi oleh walinya maupun imam masjid, sehingga dapat diketahui penunaian shalat jamaah mereka.

9. Membantu anak yang kekurangan
Cara lain yang dapat kita tempuh adalah menyeleksi beberapa anak untuk mengumpulkan sedekah bagi anak lain yang membutuhkan pakaian, bahan makanan, buku-buku, atau alat sekolah. Kita sendiri turut ambil bagian dalam kegiatan ini, agar anak-anak mau mengikuti. Lalu kita sampaikan ucapan terima kasih kepada anak-anak yang telah memberikan bantuan di depan teman-teman mereka untuk memotivasi mereka semuanya, agar nantinya mereka tergerak untuk bersedekah dan memperoleh pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti harta yang mereka infakkan. Kita ingatkan pada mereka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يًخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ
“Dan segala sesuatu yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba`: 39)
Bisa pula kita sisihkan sebagian infak untuk membeli hadiah bagi anak yang rajin, yang taat pada pengajar maupun orangtuanya, yang bersih pakaiannya, ataupun anak yang baik perilakunya.

Hukuman Fisik
Sebaliknya, kita hendaknya menjauhi bentuk-bentuk hukuman fisik, karena ini membahayakan, baik bagi diri si anak ataupun bagi diri kita sendiri. Selain itu juga membuang-buang waktu. Terkadang malah si anak mendapat mudarat karena pukulan yang mengenainya, yang membuahkan ketakutan si anak pada diri kita. Bahkan kadang permasalahannya berkembang lebih jauh, sehingga pendidik yang melakukan hukuman fisik itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan serta wali si anak. Semua ini berawal dari hukuman fisik.
Oleh karena itu, penggunaan hukuman fisik hendaknya dijauhi, kecuali dalam keadaan yang benar-benar memaksa. Misalnya mendidik anak-anak bandel yang tidak mempan dengan cara selain hukuman fisik, atau untuk menjaga kewibawaan serta kelancaran jalannya kegiatan belajar mengajar. Tentu saja setelah didahului dengan nasihat dan pengarahan kepada anak-anak, namun mereka tak juga berhenti. Ini ibarat pepatah Arab, “Obat yang paling akhir diberikan adalah kay [1].”

Bentuk-bentuk Hukuman yang Dilarang
Jika kita suatu waktu merasa perlu memberikan hukuman pada anak, kita harus menghindari bentuk-bentuk hukuman seperti di bawah ini:
1. Tamparan
Tamparan atau pukulan di wajah bisa mengenai mata atau telinga. Bahkan kadang menyebabkan rusaknya salah satu indera. Akibatnya terkadang si pengajar harus menanggung akibat perbuatannya di pengadilan serta membayar ganti rugi. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memukul wajah:
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهَ
“Bila salah seorang di antara kalian memukul pembantunya, hendaknya menghindari memukul wajah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 130)

2. Kekerasan yang melampaui batas
Pengajar yang biasa memberikan pukulan keras bisa jadi akan dijuluki ‘pengajar yang zhalim’ oleh murid-muridnya. Ini cukup menjadi kejelekan bagi dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barangsiapa terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594)


3. Caci-makian
Caci-makian justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang. Bahkan bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak juga akan ‘belajar’ mencaci-maki, lalu dipraktikkan di hadapan teman sekolahnya atau saudaranya di rumah. Kitalah yang akan bertanggung jawab bila terjadi demikian. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa membuat suatu sunnah yang jelek, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang ikut melakukannya, tanpa terkurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

4. Memukul saat emosi meluap
Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan, “Aku pernah mencambuk budakku. Tiba-tiba kudengar suara di belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Namun aku tak bisa memahami ucapan itu karena emosi. Ketika mendekat, tahulah aku, ternyata itu suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Segera kulemparkan cambuk di tanganku. Beliau pun berkata:
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُوْدٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلاَمِ
“Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu memberikan hukuman kepadamu daripada dirimu terhadap budak ini!”
Aku pun mengatakan, “Aku tak akan lagi memukul budak setelah ini selama-lamanya.” (HR. Muslim no. 1659)

5. Menendang
Kadang tendangan mengenai organ tubuh yang penting sehingga membahayakan jiwa anak. Pertanggungjawaban pun dituntut. Akhirnya kesudahannya hanyalah penyesalan di saat tak ada gunanya lagi penyesalan, sementara kita pun tahu bahwa menendang itu bukan perangai manusia.
6. Kemurkaan
Kita harus bisa mengendalikan emosi dan memahami kekhasan masa kanak-kanak, sehingga kita bisa memaklumi segala tingkah mereka. Kita pun harus ingat, bagaimana tingkah kita semasa kanak-kanak dulu yang mungkin malah lebih jelek lagi. Dengan begitu, amarah pun akan reda dan kita akan bisa menahan diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, namun orang yang kuat itu yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2609)
Jangan pula kita menghukum anak ketika amarah memuncak agar tidak menyakiti si anak sehingga berbuntut akibat yang buruk.

Hukuman yang Mendidik
Di sana ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik, yang layak kita terapkan. Di antaranya:
1. Nasihat dan bimbingan
Ini merupakan metode dasar dalam mendidik dan mengajari anak yang tak dapat ditinggalkan. Metode ini telah ditempuh oleh sang pendidik yang agung (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) terhadap anak-anak kecil maupun orang dewasa. Penerapan metode ini pada anak-anak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat itu. Lalu beliau pun mengajarinya tata-cara makan yang benar:
يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Nak, sebutlah dulu nama Allah, makan dengan tangan kananmu, dan makan dari makanan yang dekat denganmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
Tak seorang pun mengatakan, metode ini hanya memberikan pengaruh yang minim pada anak-anak.
Adapun nasihat dan bimbingan beliau pada orang-orang yang telah dewasa lebih banyak lagi contoh yang menunjukkan pengaruhnya. Seperti kisah A’rabi yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Suatu ketika, kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu dia berdiri dan buang air kecil di dalam masjid. Para shahabat menyergah, “Hus! Hus!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Jangan kalian putuskan kencingnya! Biarkan dia dulu!” Para shahabat pun membiarkannya sampai selesai buang air. Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dan menasihatinya:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ القَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ- أَوْ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas untuk buang air kecil ataupun buang kotoran. Masjid-masjid ini hanyalah untuk dzikir kepada Allah, untuk shalat, dan membaca Al-Qur`an.” Atau sebagaimana yang beliau katakan.
Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mengambil setimba air, lalu dituangkan pada bekas kencing tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 285)

2. Wajah masam
Kadangkala boleh pula kita menunjukkan wajah masam pada anak-anak bila melihat mereka gaduh. Ini lebih baik daripada membiarkan mereka berbuat gaduh, setelah keterlaluan baru memberi hukuman kepada mereka.

3. Teguran keras
Biasanya bila kita menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!” Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” Setelah dua atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” (HR. Al-Bukhari no. 6160 dan Muslim no. 1322)

4. Menghentikan perbuatan anak
Jika anak ribut berbicara dalam pelajaran, kita bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:
كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ
“Hentikan sendawamu di hadapan kami!” (HR. At-Tirmidzi no. 2478, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

5. Memalingkan wajah
Ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.

6. Mendiamkan
Boleh pula kita mendiamkan (tidak berbicara dengan) anak yang melakukan kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2559)

7. Cercaan
Jika anak melakukan dosa besar, kita boleh mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.

8. Duduk qurfusha` [2]
Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha` sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik daripada kita memukulnya dengan tangan atau tongkat.
9. Hukuman orangtua
Bila murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam mendidik anak.

10. Menggantungkan cambuk
Bisa pula kita gantungkan cambuk di dinding, sehingga anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
عَلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ لَهُمْ أَدَبٌ
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena demikian ini merupakan pendidikan bagi mereka.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1447)
Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau tidak memerintahkan demikian.

11. Pukulan ringan
Bila metode lain tidak membuahkan hasil, kita boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 5744: “Hadits ini hasan.”)

Inilah catatan penting bagi kita dalam memberikan hukuman dan penghargaan pada anak. Diiringi doa dan permohonan pada Rabb semesta alam, semoga terwujud keinginan kita agar anak-anak menjadi penyejuk mata.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Kedudukan wanita dalam Islam

Wanita Di Masa JahiliyahWanita dimasa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah ) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan.
Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris.

Allah berfirman (artinya):
“Dan apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59).

Islam Menjunjung Martabat WanitaDienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaimana yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33.

Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya):
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)

Ambisi Musuh-Musuh Islam Untuk Merampas Kehormatan WanitaDalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “Kesetaraan Gender”, “Kungkungan Budaya Patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam.

Dikesankan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.

KETAHUILAH WAHAI MUSLIMAH! Suara-suara sumbang yang penuh kamuflase dari musuh-musuh Allah itu merupakan kepanjangan lidah dari syaithan. Allah ta’ala berfirman (artinya):
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari jannah, ia menanggalkan dari kedua pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al A’raf: 27).

Peran Wanita Dalam Rumah TanggaTelah termaktub dalam Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang datang dari Rabbull Alamin Allah Yang Maha Memilki Hikmah:“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al Ahzab: 33)
Maha benar Allah dalam segala firman-Nya, posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat urgen, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama: perbaikan secara dhahir, di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara dhahir. Ini didominasi oleh lelaki karena merekalah yang bisa tampil di depan umum.
Kedua: perbaikan masyarakat dilakukan yang di rumah-rumah, secara umum hal ini merupakan tanggung jawab kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya.

Sebagaiman Allah ta’ala berfirman (artinya):

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa-dosa kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya”. (Al Ahzab: 33)

Kami yakin setelah ini, tidaklah salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas tergantung kepada wanita dikarenakan dua sebab:

1. Kaum wanita jumlahnya sama dengan kaum laki-laki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An -Nabawiyah. Akan tetapi hal itu tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang sangat besar dalam memperbaiki masyarakat.

2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada di bawah asuhan wanita. Atas dasar ini sangat jelaslah bahwa tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.

Pekerjaan Wanita Di Dalam RumahBeberapa pekerjaan wanita yang bisa dilakukan di dalam rumah:
1. Beribadah kepada Allah . Tinggalnya ia di dalam rumah merupakan alternatif terbaik karena memang itu perintah dari Allah ta’ala dan dapat beribadah dengan tenang. Allah ta’ala berfirman (artinya):“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikan zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al Ahzab: 33)

2. Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan/keharmonisan) bagi suami. Namun tidak akan terwujud kecuali ia melakukan beberapa hal berikut ini:- Taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi)Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356)

- Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan ia sendiri disaat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.

- Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda:
خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ : أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ، وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi)

- Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.

3. Mendidik anak yang merupakan salah satu tugas yang termulia untuk mempersiapkan sebuah generasi yang handal dan diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala.Adab Keluar RumahAllah Yang Maha Mengetahui tentang maslahat (kebaikan) hambanya di dunia maupun di akhirat yaitu kewajiban wanita untuk tetap tinggal di rumah. Namun bila ada kepentingan, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya.
Rasulullah bersabda:
قَدْ أَذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi)
Namun juga ingat petuah Rasulullah yang lainnya:
“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah syaithan menyambutnya.” (HR. At Tirmidzi, shahih lihat Al Irwa’ no. 273 dan Shahihul Musnad 2/36)Sehingga wajib baginya ketika hendak keluar harus memperhatikan adab yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya , yaitu:

a. Memakai jilbab yang syar’i sebagaimana dalam surat Al Ahzab: 59.

b. Atas izin dari suaminya, bila ia sudah menikah.

c. Tidak boleh bersafar kecuali dengan mahramnya. (HR. Muslim no. 1341)

d. Menundukkan pandangan. (An Nur: 31)

e. Berbicara dengan wajar tanpa mendayu-dayu (melembut-lembutkan). (Al Ahzab: 32)

f. Tidak boleh melenggak lenggok ketika berjalan.

g. Hindari memakai wewangian. (Al Jami’ush Shahih: 4/311)

h. Tidak boleh menghentakkan kaki ketika berjalan agar diketahui perhiasannya. (An Nur: 31)i. Tidak boleh ikhtilath (campur baur) antara lawan jenis. (Lihat Shahih Al Bukhari no. 870)j. Tidak boleh khalwat (menyepi dengan pria lain yang bukan mahram) (Lihat Shahih Muslim 2/978).Hukum Wanita Kerja Di Luar RumahAllah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di berikan kelebihan oleh Allah baik fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah berfirman (artinya): “Kaum lelaki itu adalah sebagai pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita.” (An Nisa’: 35)
Sehingga secara asal nafkah bagi keluarga itu tanggug jawab kaum lelaki. Asy syaikh Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fil Maidanil amal, hal. 5)
Bila kaum wanita tidak ada lagi yang mencukupi dan mencarikan nafkah, boleh baginya keluar rumah untuk bekerja, tentunya ia harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga iffah (kemulian dan kesucian) harga dirinya.

Wanita Adalah Sumber Segala FitnahBila wanita sudah keluar batas dari kodratnya karena melanggar hukum-hukum Allah . Keluar dari rumah bertamengkan slogan bekerja, belajar, dan berkarya. Meski mengharuskan terjadinya khalwat (campur baur dengan laki-laki tanpa hijab), membuka auratnya (tanpa berjilbab), tabarruj (berpenampilan ala jahiliyah), dan mengharuskan komunikasi antar pria dan wanita dengan sebebas-bebasnya. Itulah pertanda api fitnah telah menyala.


Bila fitnah wanita telah menyala, ia merupakan inti dari tersebarnya segala fitnah-fitnah yang lainnya. Allah I berfirman (artinya): “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia untuk condong kepada syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak … .” (Ali Imran: 14).Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Sesunggunya fitnah wanita merupakan fitnah yang terbesar dari selainnya …, karena Allah menjadikan para wanita itu sebagai sumber segala syahwat. Dan Allah meletakkan para wanita (dalam bagian syahwat) pada point pertama (dalam ayat di atas) sebelum yang lainnya, mengisyaratkan bahwa asal dari segala syahwat adalah wanita.” (Nashihati Linnisaa’i: 114)


Bila fitnah wanita itu telah menjalar, maka tiada yang bisa membendung arus kebobrokan dan kerusakan moral manusia. Fenomena negara barat atau negara-negara lainnya yang menyuarakan emansipasi wanita, sebagai bukti kongkrit hasil dari perjuangan mereka yaitu pornoaksi dan pornografi bukan hal yang tabu bahkan malah membudaya, foto-foto telanjang dan menggoda lebih menarik daya beli dan mendongkrak pangsa pasar. Tak lebih harga diri wanita itu seperti budak pemuas syahwat lelaki.
Rasulullah bersabda:إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضْرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَ اتَّقُوا النِّسَاءَ فَإنَّ أَوَّلِ فِتْنَةِ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada (fitnah) wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari wanitanya.” (HR. Muslim).


Setelah mengetahui hak dan tanggung jawab wanita sedemikian rupa, rapi dan serasi yang diatur oleh Islam, apakah bisa dikatakan sebagai wanita pengangguran atau kuno? sebaliknya, silahkan lihat kenyataan kini dari para wanita karier di balik label emansipasi atau slogan “Mari maju menyambut modernisasi?” Renungkanlah wahai kaum wanita, bagaimana kedaan suami dan anak-anak kalian setelah kalian tinggalkan tanggung jawab sebagai istri penyejuk hati suami dan penyayang anak-anak ?!!!! .

Monday, December 29, 2008

AURAT Wanita Muslimah

AURAT Wanita Muslimah

Dari Ibnu Mas'ud r.a Rasulullah Saw bersabda : “Wanita itu seluruhnya aurat.” (Thabrani)Aurat menurut bahasa adalah sesuatu perkara yang malu jika diperlihatkan. Atau bisa juga disebut bahwa aurat adalah sesuatu yang menjadi aib atau cela jika diperlihatkan. Maka seseorang yang menampakkan auratnya di depan yang lainnya, adalah mereka yang tidak memiliki rasa malu, atau mereka yang memiliki aib. Allah Swt berfirman: "Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukminin, hendaknya mereka memanjangkan jilbab mereka ke seluruh tubuh. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, dan karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. Al-Ahzab : 59)

Syekh Rasyid Ridha, dalam kitabnya ‘Nida Lil Jinsil Lathif’ menerangkan latar belakang turunnya ayat ini, bahwa sebelum ayat ini diturunkan kaum wanita mukminat biasa mengenakan pakaian seperti lazimnya wanita-wanita non-muslimah pada masa jahiliah. Yaitu terbuka leher dan sebagian dada-dada mereka. Hanya sesekali saja mereka mengenakan jilbab, itu pun tidak merata. Jilbab adalah sejenis pakaian luar yang menutupi seluruh anggota tubuh. Jika mereka merasa perlu mereka memakainya, tetapi jika tidak, maka mereka tidak akan memakainya.

Orang-orang yang usil, lantas mengganggu mereka lantaran wanita-wanita itu disangka amat (hamba sahaya wanita). Sebab memang amat-lah yang seringkali sengaja mempertontonkan sebagian dari anggota tubuh mereka. Kebiasaan itulah yang kemudian dijadikan sarana oleh kaum munafiqin untuk mengganggu kaum wanita mukminah, termasuk istri-istri Nabi. Dan mereka beralasan bahwa mereka menyangka wanita-wanita itu adalah amanat. Karena itu, Allah Swt. memerintahkan kepada seluruh wanita mukminah agar memanjangkan jilbab-jilbab mereka dengan menutup kepala leher sampai dada mereka. Dengan demikian mereka dapat mengenali bahwa wanita-wanita yang memakai jilbab adalah wanita-wanita mukminat.

Menutup aurat bagi wanita adalah hikmah dari Allah Ta'ala untuk menyelamatkan kaum wanita dari bahaya fitnah. Sebagaimana ditegaskan oleh Umar bin Khattab r.a, beliau berkata: “Bertaqwalah kepada Allah, Tuhan kalian, dan jangan biarkan istri dan anak perempuan kalian mengenakan pakaian Qibthi, karena sekalipun tidak tips namun ia dapat menimbulkan rangsangan dan mengundang fitnah.” (Tarikh At Thabari,1V/215)

Dr. Anwar Jundi menulis bahwa Islam menekankan agar wanita melindungi diri dengan cara memakai pakaian yang menutup seluruh auratnya, mengharamkan berduaan dengan pria yang bukan muhrimnya, dan seluruh aktifitas yang akan mendatangkan maksiat. Usaha-usaha ini adalah untuk menyelamatkan wanita dari fitnah, dan menyelamatkan masyarakat dari fitnah wanita.

Beliau menambahkan bahwa dengan beragam cara pula musuh¬musuh Islam mempropagandakan “bugilisme”. Mereka mencanangkan falsafah buruk yang lepas dari norma-nonna masyarakat. Mereka menciptakan rancangan pakaian dengan tidak membedakan mana pakaian untuk pria dan mana pakaian untuk wanita. Sehingga tidak ada lagi garis pembeda yang memisahkan antara pakaian pria dan wanita. Akibatnya, perbuatan haram pun berkembang, yaitu wanita nampak seperti pria atau pria nampak seperti wanita. Hal ini karena dipengaruhi oleh mode pakaian.

a. Berjilbab---------------------------- Allah Swt berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Q.S. An Nuur: 31) Dengan beralasan demi kecantikan dan rasa malu jika menutup aurat, banyak kaum wanita yang mengatakan belum waktunya untuk menutup aurat-aurat mereka. Padahal waktu demi waktu, korban-korban akibat kelalaian menutup aurat sudah berserakan di mana-mana. Tidak peduli pemuda atau pemudi, orang dewasa atau orangtua, anak-anak pun telah menjadi korban panah-panah beracun iblis tersebut.

Mengenai kepentingan menutup aurat ini, marilah kita menyimak beberapa hadits lagi yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya :

a. Nabi Saw. ketika memerintahkan kaum wanita untuk keluar melakukan shalat Hari Raya, para wanita berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak mempunyai hijab”. Maka jawab Rasulullah Saw, “Haruslah saudarinya meminjami jilbabnya.” (Bukhari, Muslim)

b. Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mengeluarkan kakinya ke bawah karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya di hari Kiamat.” Ummu Salamah r.ha. bertanya “Apa yang harus diperbuat kaum wanita dengan baju panjangnya?” Nabi Saw. menjawab: “Mereka hendaknya melebihkan barang sejengkal” Ummu Salamah r.ha. berkata lagi: “Kalau demikian, akan terbuka telapak kaki mereka”. Sahut Nabi Saw : “Mereka harus melebihkan satu hasta dan jangan ditambah lagi.”

c. `Aisyah r.ha. berkata: “Ada serombongan pengendara unta melewati kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah Saw, ketika rombongan itu datang kepada kami, maka kami menutup muka kami dengan mengulurkan jilbab kami dari kepala, dan bila rombongan itu telah lewat maka kami pun buka kembali wajah kami.” (Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)d. Ibnu Hajar r.a berkata : Bahwasannya Umar bin Khattab r.a. pernah diperingatkan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya: “Berilah pakaian yang menutupi muka istri-istrimu.”e. Rasulullah Saw. pernah menegur dua orang istrinya, Maimunah dan Ummu Salamah ketika Abdullah bin Ummi Maktum memasuki rumah beliau: “Pakailah hijab !” Mereka berkata: “Abdullah bin Ummi Maktum itu buta.” Rasululllah Saw. pun bersabda: “Apakah kamu berdua juga buta, bukankah kamu berdua dapat melihatnya?”f. Rasulullah Saw. bersabda: “Ada dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya yaitu: (1) Suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang dipukulkan ke manusia. (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian (tetapi hakekatnya) mereka itu telanjang, (jalannya) lenggak lenggok, sanggul mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari jarak perjalanan (sejauh) sekian..sekian”. Di dalam riwayat lain disebutkan : “Dan sesungguhnya harumnya tercium dari jarak perjalanan lima ratus tahun.” (Muslim)

b. Aturan Berbusana Muslimah---------------------------- Dalam hal ini ada beberapa aturan bagi kaum wanita shalihah dalam berbusana, agar tidak termasuk dalam golongan ‘... yang berpakaian tetapi sesungguhnya mereka itu telanjang’ yaitu busana hendaknya :(1) Tidak terlalu tipis, sehingga terlihat bagian tubuh dari luar.(2) Tidak terlalu ketat, sehingga membentuk tubuh.(3) Tidak memakai harum-haruman.(4) Tidak menyerupai busana pria(5) Tidak menyerupai model busana orang-orang kafir.(6) Tidak untuk menyombongkan diri atau bermegah-megahan. Fungsi pakaian itu sendiri adalah untuk menutupi aurat, maka apa artinya pakaian jika tidak menutupi aurat pemakainya? Untuk itulah ia dinamakan sebagai ‘Wanita yang berpakaian tetapi sesungguhnya ia telanjang.’ Rasulullah Saw. Bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian untuk menyombongkan diri, niscaya pada hari Kiamat Allah akan memakaikan pakaian kehinaan kepadanya”. (Ahmad, Abu Dawud, Nasa' i) Seorang Iaki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang ia pakai maka Ibnu Umar berkata: “Pakaian yang biasa saya pakai adalah yang tidak dihinakan orang-orang bodoh dan tidak dicela orang-orang cendikiawan. (Tidak telalu jelek dan tidak terlalu mewah mcncolok) jadi pertengahan antara keduanya”.

c. Menutup Wajah/Bercadar---------------------------- Wanita shalihah selayaknya memiliki rasa malu yang tinggi dan memahami batasan-batasan aurat tubuhnya yang seharusnya tidak diperlihatkan kepada sembarangan orang, dan wajah wanita sudah pasti adalah salah satu darinya. Karena dari wajahlah yang paling dahulu memberikan godaan.

Wajah yang menarik akan mudah menggoda lawan jenisnya. Thabrani meriwayatkan bahwa Allah telah memerintahkan kepada kaum mukminat, jika mereka hendak keluar dari rumah mereka karena suatu hajat, maka hendaklah mereka menutupkan jilbab ke wajah mereka dari atas dan menampakkan sebelah matanya.

Ibnu Jarir meriwayatkan : Aku bertanya kepada Ubaidah bin Harits tetang firman Allah Swt : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Q.S. An-Nur : 31), ia menjawab sambil memperagakan dengan pakaiannya. Ia menutup kepala dan wajahnya dan menampakkan bagian matanya. Allamah Abu BakarAl Jashshash mengatakan bahwa di dalam ayat ini terdapat sebuah dalil bahwa seorang wanita diperintahkan untuk menutup wajahnya agar tidak terlihat oleh lelaki asing, menampakkan penutupnya dan menjaga kehormatannya ketika keluar rumah. Qadhi Baidhawi mengatakan dalam menafsirkan ‘Hendaklah mengulurkan jilbabnya’ yaitu hendaklah mereka menutup wajah dan badan-badan mereka dengan jubah mereka jika mereka akan ke luar untuk suatu hajat. Said bin Musayyib mengisahkan pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Fatimah r.ha. tentang manakah wanita yang baik. Fatimah r.ha. menjawab yaitu: “Wanita yang tidak mau melihat laki-laki dan tidak mau dilihatnya”. Ali pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. yang dijawab oleh beliau bahwa Fatimah adalah darah daging beliau. (Maksudnya bahwa jawaban Fatimah sama seperti jawaban beliau).

Jumhur ulama mujtahid yang dipimpin oleh Asy Syafi'i, Hambali, dan Maliki menyatakan bahwa wajah adalah aurat, kecuali para fuqaha dari Hanafiyah yang membolehkan membukanya dengan syarat jika tidak ada fitnah. Sedangkan perkataan-perkataan yang menjadikan hadits Fadhal bin Abbas yang membonceng Nabi Saw ketika Haji Wada' lalu ia melihat wajah wanita yang lewat di dihadapannya, kemudian Nabi memalingkan wajah Fadhal bin Abbas.
Mereka mengambil dalil dari hadits ini, yakni : Sekiranya wajah itu aurat tentu wanita itu menutupi wajah mereka sehingga Fadhal tidak melihat mereka.Jumhur ulama menjawab hal ini dengan mengatakan:
(1) Sangat jelas dinyatakan dalam hadits tersebut bahwa kejadian itu berlangsung ketika haji wada' ketika mereka sedang ihram. Sedangkan dalam ihram para wanita dilarang menutup wajah dan tangannya.
(2) Kaum wanita pada zaman Nabi Saw. telah terbiasa mengenakan tutup wajah dan tangan mereka. Kemudian Rasulullah Saw. melarang hal itu dilakukan ketika berihram.Bahkan dalam ‘Al Muwattha’ Imam Malik, meriwayatkan bahwa Fatimah binti Mundzir berkata: “Pernah kami menutup wajah dalam ihram. Ketika itu kami bersama Asma binti Abu Bakar, dan ia tidak menyalahkan perbuatan kami.” Dalam ‘Fathul Bari’ diriwayatkan dari ‘Aisyah r.ha : “Hendaklah wanita mengulurkan jilbabnya dari atas kepala hingga wajahnya.” Dalam kitab ‘Ash Shihhah’ diriwayatkan bahwa ada seorang muslimah mengerjakan urusannya di pasar Bani Qainuqa’. Muslimah ini memakai jilbab. Lalu seorang lelaki Yahudi menghadangnya dan dirinya dan jilbabnya. Yahudi itu memaksanya untuk membu¬ka wajahnya, tetapi wanita itu menolak dan menjerit meminta tolong. Maka salah seorang dari kaum muslimin menyerang Yahudi itu dan membunuhnya. Untuk itulah Rasulullah Saw bersabda : “Memandang itu bagaikan anak panah beracun daripada iblis.” (Thabrani) Nabi Isa a.s. pun berkata: “Takutlah akan memandang, karena memandang akan menimbulkan syahwat dalam hati. Dan cukuplah memandang wanita itu sebagai fitnah.” Imam Mujahid rah.a. pernah berkata: “Jika ada seorang wanita yang datang, maka duduklah iblis di kepalanya. Lalu ia merias wanita itu dari pandangan orang yang melihatnya. Jika wanita itu membelakang, maka iblis akan duduk di pantatnya dan menghias wanita itu dari pandangan orang yang melihatnya.”Sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya iblis yang terlaknat berkhutbah para syetan: “Hendaklah kalian menggoda manusia dengan khamar dan segala sesuatu yang memabukkan dan dengan wanita. Sesungguhnya aku tidak mendapatkan suatu kumpulan kejahatan kecuali di dalamnya ”. (Hakim)